Senin, 01 Februari 2010

Dilema atau Pilihan Berat dari Kepatuhan


Pengantar.”Benarkah itu suara Tuhan”? Samuel belajar untuk mengenali suara Tuhan. Tapi, sesudah jelas suara Tuhan, Samuel sang pelayan muda itu dihadapkan dengan pilihan berat, menyampaikan firman teguran kepada Eli, yang dia hormati? Bagaimana kita seharusnya bersikap dalam situasi seperti itu? Itulah ingin yang dikemukakan dalam renungan dengan judul Dilema atau Pilihan Berat dari Kepatuhan seperti dibawah ini:

Dilema atau Pilihan Berat dari Kepatuhan
Samuel segan memberitahukan penglihatan itu kepada Eli” (1 Samuel 3:15).
Allah tidak pernah berbicara kepada kita dengan cara yang dramatis (seperti kepada Samuel), tetapi dengan cara yang mudah disalah-pahami. Kemudian kita berkata, “Benarkah itu suara Allah?”
Yesaya berkata bahwa Tuhan berbicara kepadanya “dengan tangan yang kuat” yaitu dengan tekanan situasi yang dialaminya (Yesaya 8:11, NKJV). Tanpa tangan Allah yang berkuasa itu sendiri, tidak ada yang dapat menyentuh hidup kita. Apakah kita mengenali tangan-Nya yang sedang bekerja, atau kita hanya melihat segala sesuatu sebagai rangkaian peristiwa semata-mata?
Biasakanlah untuk berkata, “Berbicaralah, Tuhan”, maka kehidupan akan menjadi menyenangkan (romantis) (1 Samuel 3:9). Setiap kali situasi mengimpit Anda, katakanlah, “Berbicaralah, Tuhan,” dan luangkan waktu untuk mendengar. Teguran/hajaran (dari Tuhan), itu lebih dari sekadar sarana disiplin - itu dimaksudkan untuk mendorong kita berkata, “Berbicaralah, Tuhan.” Kenanglah kembali saat-saat Tuhan berbicara kepada Anda di masa lalu. Adakah Anda mengingat apa yang diucapankan-Nya? Apakah itu berupa Lukas 11:13 atau 1 Tesalonika 5:23? Selagi kita mendengar, telinga kita menjadi semakin peka, dan seperti Yesus, kita akan mendengar Allah berbicara sepanjang waktu.
”Lalu berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: "….. bahwa Aku akan menghukum keluarganya (Eli) untuk selamanya karena ................ anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka!” (Samuel 3:13). Tapi, ”Samuel segan memberitahukan penglihatan itu kepada Eli” (3:15). Haruskah saya mengatakan kepada “Eli” saya tentang hal yang ditunjukkan Allah kepada saya? Di sinilah dilema atau letak pilihan berat dari kepatuhan itu. Kita tidak patuh kepada Allah karena menjadi ”berbuat kebaikan bagi orang lain” dan kita berpikir, “Aku harus melindungi ‘Eli”, yang melambangkan orang terbaik yang kita kenal.
Memang (dalam nats) Allah tidak menyuruh Samuel untuk memberitahukan kepada Eli, tapi dia harus memutuskan hal itu sendiri. Pesan Allah kepada Anda, apabila disampaikan, mungkin akan menyakiti ‘Eli’ Anda, tetapi berusaha merintangi penderitaan dalam hidup orang lain akan menjadi rintangan antara jiwa Anda dan Allah. Anda menanggung akibatnya sendiri bila merintangi ”pemenggalan tangan kanan” dan ”pencungkilan mata kanan seseorang” (lihat Matius 5:29-30).
Jangan sekali-kali meminta nasihat orang lain tentang apa pun yang dikehendaki Allah untuk Anda putuskan di hadapanNya. Jika Anda meminta nasihat, maka Anda hampir selalu berpihak kepada iblis. Seperti sikap Paulus, “maka sesaat pun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia (Galatia 1:16). (My Utmost for His Highest 30 Januari 2010).

Tidak ada komentar: