Minggu, 28 Februari 2010

Percayakah Kamu Sekarang?


SUNGGUH renungan hari ini merupakan peringatan bagi pekerja Kristen, yg telah meninggalkan Yesus .... namun berusaha melayani-Nya sebagai kewajiban atau karena merasa perlu menurut penilaian sendiri. Yang terjadi, bukan mencari pimpinan-Nya, tapi mengambil keputusan sendiri berdasarkan akal sehat, lalu meminta Tuhan memberkatinya - keputusan yg justru terlepas dari realita (Tuhan). Selanjutnya dibawah ini:

Percayakah kamu sekarang?
Karena itu kami percaya...” Jawab Yesus kepada mereka: ”Percayakah kamu sekarang?” (Yohanes 16.30-31).
Sekarang kami percaya...” Tetapi Yesus bertanya, “Percayakah kamu sekarang? Lihat, saatnya datang ..... ketika kamu meninggalkan Aku seorang diri” (Yohanes l6:31-32).
Banyak pekerja Kristen telah meninggalkan Yesus seorang diri namun berusaha melayani-Nya karena merasa sebagai kewajiban atau karena merasa perlu sebagai akibat dari penilaian mereka sendiri.
Alasan terjadinya hal ini sebenarnya adalah karena tidak adanya hidup kebangkitan dari Yesus. Jiwa kita telah lepas dari keakraban hubungan dengan Allah karena mengandalkan pengertian keagamaan kita sendiri (lihat Amsal 3:5-6).
Ini bukan dosa kesengajaan dan tidak ada hukuman yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, pada saat seseorang menyadari betapa dia telah merintangi pengertiannya tentang Yesus Kristus, dan menyebabkan kebingungan, dukacita dan kesulitan bagi dirinya, maka dia harus segera kembali (kepada-Nya) dengan malu dan penyesalan.
Kita perlu bersandar pada hidup kebangkitan Yesus pada taraf yang lebih mendalam ketimbang yang kita lakukan sekarang ini. Kita harus terus-menerus terbiasa mencari pimpinan-Nya dalam setiap hal, bukannya mengambil keputusan kita sendiri berdasarkan akal sehat kita, lalu meminta Dia memberkati keputusan itu. Dia tidak dapat memberkati keputusan itu; itu bukan cara-Nya untuk berbuat demikian, dan keputusan tersebut terlepas dari realita atau kenyataan.
Jika kita berbuat sesuatu semata-mata karena merasa wajib, maka kita mencoba hidup menurut tolok ukur lain selain yang bersumber dari Yesus Kristus. Kita menjadi orang yang sombong dan arogan, menyangka bahwa kita tahu tindakan yang harus dilakukan dalam setiap situasi. Kita telah mendudukkan kewajiban di atas takhta kehidupan kita, bukannya mengutamakan hidup kebangkitan Yesus.
Kita tidak diperintah untuk “hidup di dalam terang” dari nurani kita atau di dalam terang dari kewajiban kita, melainkan “hidup di dalam terang sama seperti Dia ada di dalam terang...” (1 Yohanes 1:7).
Bila kita berbuat sesuatu berdasarkan kewajiban, maka mudah untuk memberikan argumen atau alasan dari tindakan kita kepada orang lain. Akan tetapi, bila kita berbuat sesuatu dalam ketaatan kepada Tuhan, maka takkan ada penjelasan atau argumen lain – kecuali ketaatan. Itulah sebabnya seorang kudus dapat mudah diejek dan disalah-mengerti. (My Utmost for His Highest, 28 Februari 2010)

Jumat, 26 Februari 2010

Keraguan Kita Tentang Yesus


JUJUR, kata renungan hari ini, setiap kita dapat dan pernah bimbang dan ragu akan kemaha-kuasaan Yesus, misalnya bagaimana Tuhan dapat mencukupkan kita pribadi dan dalam hubungan panggilan pelayanan. Lalu, bagaimana jika saya menemukan keraguan ini ada dalam diri saya? Mengakunya secara terbuka kepada Tuhan. Selanjutnya kita ikuti dibawah ini:
Keraguan Kita Tentang Yesus
Kata perempuan itu kepada-Nya: ‘Tuan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam” (Yohanes 4:11).
Pernahkah Anda berkata kepada diri sendiri, “Aku terkesan dengan kebenaran-kebenaran ajaib dari Firman Allah, tetapi sesungguhnya Dia tidak mungkin mengharapkan aku hidup sesuai dengannya dan menerapkan semuanya!”
Ketika diperhadapkan dengan Yesus Kristus dalam hal sifat dan kemampuan-Nya, sering sikap kita mencerminkan keberagamaan dan kesalehan yang tampak hebat dari luar, tapi didalam beda. Kita berpendapat bahwa cita-cita-Nya agung-mulia dan mengesankan, tetapi ketika bersentuhan dengan hal-hal nyata, kita ragu apakah yang dikatakan-Nya itu dapat dilaksanakan.
Setiap kita, dalam berbagai segi kehidupan kita, dapat dan pernah berpikir seperti ini tentang Yesus. Kebimbangan atau keraguan (misgiving)*) tentang Yesus mulai timbul pada saat kita mempertimbangkan hal-hal atau pertanyaan yang membelokkan perhatian kita dari Allah. Misalnya, ketika kita berbicara tentang panggilan pelayanan Tuhan, seseorang menanyakan kita, “Dari mana Anda mendapatkan cukup uang untuk hidup? Bagaimana Anda akan hidup dan siapa yang akan mengurusi Anda?”
Atau keraguan kita mulai timbul dalam diri kita, ketika kita mulai berpikir dan mengatakan kepada Yesus bahwa situasi kita terlampau sulit bagi-Nya. Kita berkata, “Memang mudah berkata, “Percayalah kepada Tuhan”, namun orang kan harus hidup; dan selain itu Yesus “tidak mempunyai timba untuk mengambil air” – tidak ada sarana yang mampu memberi semua ini untuk kita”.
Dan waspadalah terhadap tampilnya kebohongan agama dengan mengatakan, “Ah, aku tidak mempunyai keraguan tentang Yesus, hanya keraguan tentang diriku sendiri”. Jika kita jujur, kita akan mengakui bahwa kita tidak pernah mempunyai kebimbangan atau keraguan tentang diri kita sendiri, karena kita tahu dengan tepat kemampuan dan keterbatasan kita untuk berbuat sesuatu. Akan tetapi, kita memang mempunyai keraguan tentang Yesus. Dan keangkuhan kita bahkan terluka akibat pemikiran bahwa Dia dapat melakukan hal yang tidak dapat kita lakukan. Keraguan saya timbul dari fakta bahwa saya mencari-tau didalam diri saya cara Dia melakukan hal yang diucapkan-Nya. Keraguan saya timbul dari rasa rendah-diri saya.
Jika saya menemukan keraguan ini ada dalam diri saya, seharusnya saya membawanya dalam terang dan dan mengakuinya secara terbuka - “Tuhan, aku menaruh keraguan tentang diri-Mu. Aku tidak mempercayai kesanggupan-Mu, hanya kesanggupanku sendiri. Dan aku tidak mempercayai kemaha-kuasaan-Mu di luar pemahamanku yang terbatas mengenal hal itu”. (My Utmost for His Highest, 26 Februari 2010)

Kamis, 25 Februari 2010

Kemiskinan dalam Pelayanan*)

KONSEP Alkitab tentang Pelayan memang tidak populer. Bahkan sering sungsang dengan keinginan kita. Melayani berarti menjadi hamba bagi orang lain, melayani tanpa reserve, bersedia menjadi miskin seperti Yesus, bersedia ”menjadi roti yang dipecahkan dan anggur yang dicurahkan di tangan Yesus Kristus demi kepentingan orang lain”, seperti ditunjukkan oleh Paulus. Lebih lanjut dibawah ini:

Kemiskinan dalam Pelayanan*)


Karena itu aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan diriku untuk kamu. Jadi jika aku sangat mengasihi kamu, masakan aku semakin kurang dikasihi?” (2 Korintus 12. 15)

Kasih manusia biasanya mengharapkan suatu imbalan. Akan tetapi Paulus menyatakan, tidaklah menjadi soal bagiku apakah kamu mengasihiku atau tidak. Aku bersedia untuk menjadi miskin, demi kamu, agar aku dapat membawamu kepada Allah. ”Karena kamu telah mengenal anugerah Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa sekalipun Ia kaya, oleh karena kamu Ia menjadi miskin” (2 Korintus 8:9). Dan gagasan Paulus tentang pelayanan sama seperti gagasan Tuhan kita. Dia tidak peduli besarnya risiko atau harga yang harus dibayarnya - dia dengan senang hati menanggungnya. Itu merupakan sukacita penuh bagi Paulus

Gagasan (lembaga) gereja tentang seorang hamba Tuhan adalah sering tidak sepenuhnya sama dengan gagasan Yesus Kristus. Gagasan Yesus adalah bahwa kita melayani Dia dengan menjadi hamba bagi orang lain. Yesus Kristus sebenarnya lebih sosial daripada kaum sosialis. Dia berkata bahwa dalam kerajaan-Nya orang yang terbesar adalah menjadi pelayan bagi semua (lihat Matius 23:11).

Ujian sesungguhnya dari seorang kudus bukanlah kesediaannya memberitakan Injil, melainkan kesediaannya untuk melakukan sesuatu seperti pembasuhan kaki murid: hal-hal yang tampaknya tidak penting dalam penilaian manusia, namun adalah segalanya bagi Allah. Adalah kesukaan Paulus mengorbankan hidupnya bagi perhatian Allah terhadap orang lain, dan dia tidak peduli apa pun harganya.

Akan tetapi, sebelum mau melayani, kita biasanya berhenti sejenak untuk mempertimbangkan urusan pribadi dan keuangan kita: “Bagaimana jika Allah menghendaki aku pergi ke seberang sana? Bagaimana dengan gajiku? Bagaimana iklimnya di sana? Siapa yang akan memperdulikan aku? Seseorang haruslah mempertimbangkan semua hal ini!”.

Semua ini merupakan pertanda bahwa kita reserve, kita menetapkan syarat-syarat dalam melayani Allah. Akan tetapi, rasul Paulus tidak. Dia tidak mempunyai syarat atau keberatan. Paulus memusatkan kehidupannya pada gagasan Yesus Kristus tentang seorang kudus Perjanjian Baru - yaitu bukan seorang yang semata-mata memberitakan Injil, melainkan seorang yang menjadi roti yang dipecahkan dan anggur yang dicurahkan di tangan Yesus Kristus demi kepentingan orang lain. (My Utmost for His Highest, 25 Februari 2010)

*) Judul asli renungan “The Destitution of Service”. Kata destitution, dari kata destitute, menurut Kamus Cambridge, lebih dari sekedar miskin, tapi begitu miskin sehingga tidak mempunyai kebutuhan pokok dan uang

Rabu, 24 Februari 2010

Sukacita Dalam Berkorban


Hari ini masih tentang motif pelayanan. Dikatakan, dalam pelayanan Kristen adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, bahwa kita dikendalikan oleh kepentingan dan hasrat kita sendiri. Dan fakta, inilah ujian terbesar dalam hubungan kita dengan Yesus Kristus: adakah sukacita dalam berkorban, dalam menyerahkan hidup saya untuk Sahabat saya, Yesus? Selanjutnya dibawah ini:
Sukacita Dalam Berkorban
Karena itu aku suka mengorbankan milikku, bahkan mengorbankan diriku untuk kamu” (2 Korintus 12:15).
Pada saat “kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus” (Roma 5:5), maka dengan sukarela kita mulai mengindentifikasikan diri dengan perhatian dan maksud Yesus Kristus dalam kehidupan orang lain. Dan Yesus menaruh perhatian pada setiap orang. Dalam pelayanan Kristen adalah sesuatu yang tidak dapat diterima, bahwa kita dikendalikan oleh kepentingan dan hasrat kita sendiri.
Dan fakta, inilah ujian terbesar dalam hubungan kita dengan Yesus Kristus. Sukacita dalam berkorban adalah bahwa saya menyerahkan hidup saya untuk Sahabat saya, Yesus (lihat Yohanes 15:13). Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup saya, tetapi dengan rela dan kesungguhan menyerahkannya bagi Dia dan bagi perhatian-Nya bagi orang lain. Dan saya melakukan hal ini bukan untuk alasan atau maksud saya sendiri.
Paulus mengorbankan hidupnya hanya untuk satu maksud - agar dia dapat memenangkan manusia bagi Yesus Kristus. Paulus selalu menarik manusia kepada Tuhannya, tidak pernah kepada dirinya sendiri. Dia mengatakan, “Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” (1 Korintus 9:22).
Apabila seseorang berpikir bahwa untuk membangun/mengembangkan suatu hidup suci dia harus selalu menyendiri dengan Allah, maka dia tidak lagi berguna bagi orang lain. Paulus adalah seorang suci, tetapi ke mana pun dia pergi dia selalu mengizinkan Yesus Kristus memakai hidupnya.
Banyak di antara kita yang hanya menaruh minat pada maksud tujuan kita sendiri, dan Yesus tidak dapat memaksakan Diri-Nya kedalam hidup kita. Akan tetapi, jika kita menyerah sepenuhnya kepada-Nya, kita tidak akan mempunyai tujuan sendiri dalam melayani. Paulus berkata bahwa dia mengetahui cara menjadi sebuah “keset’ tanpa merasa pahit dan terhina, karena motivasi hidupnya adalah devosi atau pengabdian kepada Yesus.
Kita cenderung berdevosi atau mengabdi, bukan kepada Yesus tetapi pada hal-hal yang lebih memberi kita kebebasan rohani, hal mana menjadi penghalang bagi penyerahan total kepada Yesus. Kebebasan sama sekali bukanlah yang menjadi motif bagi Paulus. Malah ia menyatakan, “Bahkan, aku mau terkutuk dan terpisah dari Kristus demi saudara-saudaraku" (Roma 9:3). Apakah Paulus telah kehilangan kemampuan berpikir nalar? Tidak sama sekali! Karena bagi seseorang yang sedang ”jatuh cinta”, (pernyataan seperti) ini bukan pernyataan yang berlebihan. Dan Paulus mengasihi Yesus Kristus. (My Utmost for His Highest, 24 Februari 2010)

Selasa, 23 Februari 2010

Tekad Untuk Melayani


ENTAH BAGAIMANA, kita sering mempunyai pendapat bahwa seseorang yang dipanggil melayani, dipanggil untuk tampil beda dan berada di atas orang lain. Apa sebenarnya yang menjadi pendorong dalam pelayanan kita? Renungan hari ini mengatakan, bila pelayanan kita untuk tujuan kemanusiaan, maka siaplah kecewa, karena perlakuan tak-berterima kasih orang lain. Yang benar bagaimana? Selanjutnya dibawah ini:

Tekad Untuk Melayani
Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani...” (Matius 20:28).
Yesus juga bersabda, “Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan” (Lukas 22:27).
Gagasan Paulus tentang pelayanan sama dengan gagasan Tuhan kita - “... kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus” (2 Korintus 4:5).
Entah bagaimana, kita sering mempunyai pendapat bahwa seseorang yang dipanggil untuk melayani itu dipanggil untuk tampil beda dan berada di atas orang lain. Akan tetapi, menurut Yesus Kristus, dia dipanggil untuk menjadi alas kaki bagi orang lain - dipanggil menjadi pemimpin rohani mereka, tetapi tidak pernah menjadi atasan mereka.
Paulus mengatakan,  said, “Aku tahu apa itu kekurangan …..(Philippians 4:12 ). Gagasan Paulus tentang pelayanan adalah mencurahkan hidupnya sampai ke tetes penghabisan bagi orang lain. Dan apakah dia akan menerima pujian atau celaan tidaklah menjadi soal. Selama masih ada seorang manusia yang belum mengenal Yesus, Paulus merasa berutang untuk melayani orang itu sampai dia mengenal-Nya. Akan tetapi, dorongan utama di balik pelayanan Paulus bukanlah kasih kepada orang lain melainkan kasih kepada Tuhannya.
Bila pengabdian kita untuk tujuan kemanusiaan, kita akan segera kalah dan patah hati, karena kita akan sering berhadapan dengan perlakuan yang tak-berterima kasih dari orang lain. Akan tetapi, jika kita didorong oleh kasih kita kepada Allah, sikap tak-berterima-kasih macam apa pun takkan dapat merintangi kita untuk melayani orang lain.
Pengertian dan pemahaman Paulus tentang cara bagaimana Kristus berurusan dengan dia merupakan rahasia di balik tekadnya untuk melayani orang lain. “Aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas...” (1 Timotius 1:13). Dengan kata lain, betapa pun buruknya orang lain memperlakukan Paulus, mereka tidak pernah memperlakukan dia seburuk kedengkian dan kebencian yang dilakukannya terhadap Yesus Kristus.
Pada saat kita menyadari bahwa Yesus telah melayani kita bahkan sampai ke serba-kekurangan kita, egoisme kita, dan sampai ke kedalaman dosa kita, maka perlakuan buruk apa pun yang kita terima dari orang lain tidak akan sanggup merongrong tekad kita untuk melayani orang lain demi Dia. (My Utmost for His Highest, 23 Februari 2010)

Senin, 22 Februari 2010

Disiplin Ketekunan Rohani

Apa itu ketekunan? Menurut kamus Cambridge ketekunan adalah ”terus mencoba melakukan sesuatu walaupun sulit”. Lalu, apa pula ketekunan rohani? Renungan hari ini menekankan perlunya ketekunan rohani, untuk mengalahkan ketakutan (bisikan daging atau sijahat) bahwa andalan kita Yesus Kristus akan kalah; ketakutan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Tuhan kita takkan menang pada akhirnya. Lebih lanjut dibawah ini:

Disiplin Ketekunan Rohani

Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!” (Mazmur 46:11).

Ketekunan itu lebih daripada daya tahan. Ketekunan adalah daya tahan yang didukung oleh keyakinan penuh dan kepastian bahwa hal yang kita cari akan terjadi/diperoleh.

Ketekunan berarti lebih daripada sekadar bertahan terus, yang mungkin hanya akan menelanjangi ketakutan kita akan kehilangan pegangan dan jatuh. Ketekunan adalah usaha kita yang sungguh bagi suatu penolakan untuk percaya bahwa andalan atau ”pahlawan” kita Yesus Kristus akan ditaklukkan.
Karena, ketakutan kita terbesar bukanlah bahwa kita akan mendapat serangan kritikan, celaan atau kutukan dari dunia, melainkan bahwa entah bagaimana kita takut Yesus Kristus akan dikalahkan. Juga, kita takut bahwa hal-hal yang dilakukan oleh Tuhan kita (kasih, keadilan, pengampunan dan kebaikan ditengah-tengah dunia ini) takkan menang pada akhirnya, dan berarti bagi kita suatu bayangan bahwa tujuan/sasaran tidak akan dapat tercapai.

Tetapi, ada panggilan untuk ketekunan spiritual. Sebuah panggilan, bukan untuk bertahan terus tanpa berbuat apa-apa, melainkan untuk bekerja dengan penuh ketetapan hati karena mengetahui dengan pasti bahwa Allah takkan pernah terkalahkan.

Jika harapan kita sepertinya mengalami kekecewaan sekarang ini, itu berarti bahwa harapan itu sedang dimurnikan. Setiap harapan atau impian manusia akan digenapi jika itu mulia dan berasal dari Allah. Akan tetapi, salah satu ketegangan atau stres terbesar dalam kehidupan adalah ketegangan menantikan Allah. Hal itu menggenapi firman Tuhan, “karena engkau menuruti firman-Ku untuk tekun menantikan Aku...” (Wahyu 3:10).

Lanjutkanlah ketekunan rohani Anda. (My Utmost for His Highest, 22 Februari 2010)

Minggu, 21 Februari 2010

Sungguhkah Anda Mengasihi Dia?


Renungan hari ini mengajak kita merenungkan kembali, alasan-alasan untuk melayani Allah. Untuk melakukan sesuatu bagi Allah? Karena merasa bahwa itu berguna bagi Allah? Karena merasa itu kewajiban? Atau, karena semata-mata karena Anda mengasihi Dia? Lebih lanjut dibawah ini:
Sungguhkah Anda Mengasihi Dia?
Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku” (Markus 14:6).
Jika apa yang kita namakan kasih tidak membuat kita berbuat melampaui kemampuan diri kita sendiri, maka itu bukanlah kasih yang sesungguhnya. Jika kita berpendapat bahwa kasih itu suatu sifat hati-hati, bijaksana, peka, cepat menilai keadaan, dan tidak pernah bertindak keras, maka kita kehilangan makna sesungguhnya akan kasih. Kasih mungkin melukiskan kasih sayang dan mungkin memberikan perasaan hangat bagi kita, tetapi bukan itu gambaran yang benar dan tepat tentang kasih.
Pernahkah Anda terdorong untuk melakukan sesuatu bagi Allah, bukan karena Anda merasa bahwa itu berguna atau karena kewajiban Anda melakukannya, melainkan semata-mata karena Anda mengasihi Dia?
Pernahkah Anda menyadari bahwa Anda dapat memberikan kepada Allah hal-hal yang berharga bagi-Nya? Ataukah Anda hanya duduk membayang-bayangkan keagungan penebusan-Nya, sementara melalaikan semua hal yang dapat Anda lakukan bagi-Nya?
Saya tidak mengatakan tentang pekerjaan-pekerjaan yang dapat dipandang sebagai ilahi dan ajaib, tapi , yaitu hal-hal biasa dan sederhana - yang menjadi bukti bahwa Anda telah menyerah sepenuhnya kepada-Nya. Tentang Maria Yesus mengatakan, “Ia telah melakukan suatu perbuatan yang baik pada-Ku.”. Sudah pernahkah Anda menciptakan sesuatu yang dikesankan Maria dari Betani di dalam hati Tuhan Yesus?
Ada saat-saat di mana seolah-olah Allah memperhatikan apakah kita mau memberi-Nya, sekalipun kecil, persembahan penyerahan, untuk memperlihatkan betapa tulus kasih kita kepada-Nya.
Penyerahan kepada Allah itu lebih berharga ketimbang kesucian pribadi kita. Perhatian atas kesucian pribadi kita menyebabkan kita memusatkan pandangan kita pada diri sendiri, lalu kita menjadi terlalu mengindahkan cara kita berjalan, cara berbicara dan penampilan kita, karena takut melukai hati Allah. Padahal  “...kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan...’ (1 Yohanes 4:18).
Kita harus berhenti menanyai diri kita, “Bergunakah aku?” dan menerima kebenaran bahwa kita sebenarnya tidak terlalu berguna bagi-Nya. Persoalannya bukanlah tentang hal berguna (bagi Allah), melainkan tentang hal berharga bagi Allah. Pada saat kita menyerah sepenuhnya kepada Allah, Dia akan bekerja melalui kita sepanjang waktu. (My Utmost for His Highest, 20 Februari 2010)

Sabtu, 20 Februari 2010

Prakarsa Terhadap Angan-angan atau Lamunan

MELAMUN atau berangan-angan sering punya konotasi negatif. Tetapi renungan hari ini mengatakan bila maksud kita adalah untuk mencari Allah dan menemukan kehendak-Nya bagi kita, maka melamun itu benar dan dapat diterima. Akan tetapi, melamunkan suatu tugas yang seharusnya dilakukan, hal itu hanya buang waktu, dan tidak dapat diterima serta berkat Allah tidak pemah ada di dalamnya. Selanjutnya dibawah ini:

Prakarsa Terhadap Angan-angan atau Lamunan

“Bangunlah, marilah kita pergi dan sini” (Yohanes 14:3 1).

Melamun tentang sesuatu agar dapat melakukannya dengan tepat itu benar, tetapi melamunkan sesuatu pada waktu kita seharusnya melakukannya itu keliru.

Dalam nats ini, setelah mengucapkan hal-hal yang indah kepada para murid-Nya, kita berharap Tuhan akan menyuruh mereka pergi untuk merenungkan ucapan itu. Akan tetapi, Yesus tidak pernah mengizinkan kita melamun, berangan-angan dengan sia-sia.

Bila maksud kita adalah untuk mencari Allah dan menemukan kehendak-Nya bagi kita, maka melamun itu benar dan dapat diterima. Akan tetapi, bila kecondongan hati kita adalah untuk membuang waktu melamunkan suatu tugas yang seharusnya dilakukan, hal itu tidak dapat diterima dan berkat Allah tidak pemah ada di dalamnya. Allah akan mengambil prakarsa terhadap lamunan seperti ini dengan mendorong kita untuk bertindak. Petunjuk-Nya bagi kita berbunyi: ”Jangan duduk atau berdiri saja, pergilah!”

Jika kita menanti dengan tenang di hadapan Allah setelah Dia berkata kepada kita, “Marilah menyendiri ke tempat yang terpencil. .. “ maka hal itu adalah perenungan di hadapan-Nya untuk mencari kehendak-Nya (Markus 6:31). Namun berhati-hatilah agar jangan terus melamun sekali Tuhan sudah berbicara. Izinkan Dia menjadi sumber dari semua impian, sukacita dan kegembiraan Anda, dan dengan penuh perhatian pergilah mematuhi ucapan-Nya.

Jika Anda mengasihi seseorang, jangan duduk saja dan melamun tentang orang itu sepanjang waktu - pergilah dan lakukan sesuatu untuknya. Itulah yang diharapkan Yesus untuk kita lakukan. Berangan-angan atau melamun setelah Allah berbicara merupakan petunjuk bahwa kita tidak mempercayai-Nya. (My Utmost for His Highest, 20 Februari 2010)

Jumat, 19 Februari 2010

Prakarsa Terhadap Pekerjaan Membosankan


Dalam budaya instan seperti sekarang kebanyakan orang tidak mau repot. Orang gampang bosan. Namun renungan hari ini mengatakan bahwa pekerjaan membosankan adalah salah satu ujian terbaik untuk menentukan keaslian karakter kita, dan kerohanian kita. Apa yang dibutuhkan dalam kebosanan seperti itu adalah ilham Allah. Bila Tuhan berbuat sesuatu melalui kita, Dia selalu mengubahnya. Selengkapnya dibawah ini:

Prakarsa Terhadap Pekerjaan Membosankan


Bangkitlah, menjadi teranglah...” (Yesaya 60:1).
Bila sampai kepada urusan mengambil prakarsa terhadap pekerjaan membosankan, kita harus mengayunkan langkah pertama seolah-olah tidak ada Allah. Tidak ada gunanya menantikan Allah untuk membantu kita - Dia tidak akan membantu. Akan tetapi pada saat kita bangkit, segera kita mendapati Dia ada di sana.
Bila Allah memberi kita ilham-Nya, tiba-tiba pengambilan prakarsa menjadi suatu masalah moral, yaitu soal kepatuhan atau ketaatan. Kemudian kita harus bertindak untuk taat dan tidak terus berbaring tanpa berbuat apa-apa. Jika kita mau bangkit dan menjadi terang, pekerjaan membosankan akan diubahkan secara ilahi.

Bacalah Yohanes 13. Dalam pasal ini, Allah yang Menjelma (berinkarnasi) melakukan teladan terbesar mengenai pekerjaan membosankan: mencuci kaki para nelayan. Kemudian Dia berkata kepada mereka, “Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yohanes 13:14).
Dibutuhkan ilham Allah jika ingin terang Allah menyinari pekerjaan yang membosankan. Dalam beberapa hal, cara seseorang mengerjakan/menjalan tugasnya membuat pekerjaan itu dikuduskan dan suci selama-lamanya. Hal itu mungkin berupa tugas sehari-hari yang sangat umum/lazim, tetapi setelah kita melihat ia diselesaikan, tugas itu menjadi beda, lain!
Bila Tuhan berbuat sesuatu melalui kita, Dia selalu mengubahnya. Tuhan mengambil tubuh manusiawi kita dan mengubahnya, lalu kini setiap tubuh oang percaya telah menjadi “bait Roh Kudus’ (1 Korintus 6:19). (My Utmost for His Highest, 19 Februari 2010)

Kamis, 18 Februari 2010

Prakarsa Terhadap Pekerjaan Membosankan

Dalam budaya instan seperti sekarang kebanyakan orang tidak mau repot. Orang gampang bosan. Namun renungan hari ini mengatakan bahwa pekerjaan membosankan adalah salah satu ujian terbaik untuk menentukan keaslian karakter kita, dan kerohanian kita. Apa yang dibutuhkan dalam kebosanan seperti itu adalah ilham Allah. Bila Tuhan berbuat sesuatu melalui kita, Dia selalu mengubahnya. Selengkapnya dibawah ini:

Prakarsa Terhadap Pekerjaan Membosankan

Bangkitlah, menjadi teranglah...” (Yesaya 60:1).
Bila sampai kepada urusan mengambil prakarsa terhadap pekerjaan membosankan, kita harus mengayunkan langkah pertama seolah-olah tidak ada Allah. Tidak ada gunanya menantikan Allah untuk membantu kita - Dia tidak akan membantu. Akan tetapi pada saat kita bangkit, segera kita mendapati Dia ada di sana.
Bila Allah memberi kita ilham-Nya, tiba-tiba pengambilan prakarsa menjadi suatu masalah moral, yaitu soal kepatuhan atau ketaatan. Kemudian kita harus bertindak untuk taat dan tidak terus berbaring tanpa berbuat apa-apa. Jika kita mau bangkit dan menjadi terang, pekerjaan membosankan akan diubahkan secara ilahi.
Pekerjaan membosankan adalah salah satu ujian terbaik untuk menentukan keaslian karakter kita. Pekerjaan membosankan jauh berbeda dari apa pun yang kita anggap sebagai pekerjaan ideal. Pekerjaan membosankan adalah pekerjaan yang sangat berat, kasar, melelahkan dan kotor. Dan ketika mengerjakannya, kerohanian kita segera diuji dan kita akan mengetahui apakah kita benar-benar rohani atau tidak.
Bacalah Yohanes 13. Dalam pasal ini, Allah yang Menjelma (berinkarnasi) melakukan teladan terbesar mengenai pekerjaan membosankan: mencuci kaki para nelayan. Kemudian Dia berkata kepada mereka, “Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yohanes 13:14).
Dibutuhkan ilham Allah jika ingin terang Allah menyinari pekerjaan yang membosankan. Dalam beberapa hal, cara seseorang mengerjakan/menjalan tugasnya membuat pekerjaan itu dikuduskan dan suci selama-lamanya. Hal itu mungkin berupa tugas sehari-hari yang sangat umum/lazim, tetapi setelah kita melihat ia diselesaikan, tugas itu menjadi beda, lain!
Bila Tuhan berbuat sesuatu melalui kita, Dia selalu mengubahnya. Tuhan mengambil tubuh manusiawi kita dan mengubahnya, lalu kini setiap tubuh oang percaya telah menjadi “bait Roh Kudus’ (1 Korintus 6:19). (My Utmost for His Highest, 16 Februari 2010)

Rabu, 17 Februari 2010

Mengambil Prakarsa Terhadap Depresi


DEPRESI? Renungan hari ini mengatakan, jika kita berbuat sesuatu semata-mata demi mengatasi depresi, kita hanya akan menambah depresi tersebut. Tetapi dengan Roh Allah, yang menuntun kita secara naluri untuk berbuat sesuatu, disanalah depresi itu lenyap. Dan kita dibawa ”memasuki dataran kehidupan yang lebih tinggi”. Lebih lanjut dibawah ini.

Mengambil Prakarsa Terhadap Depresi
Bangunlah, makanlah!” (1 Raja-raja 19:5).
Malaikat dalam nats ini tidak memberikan penglihatan kepada Elia, atau menerangkan Kitab Suci kepadanya, atau melakukan sesuatu yang luar biasa. Dia hanya menyuruh Elia melakukan hal yang sangat biasa yaitu bangun dan makan. Jika kita tidak pernah merasa depresi, kita tidak hidup - hanya benda-benda yang tidak merasa sedih.
Jika manusia tidak dapat merasa depresi, maka dia tidak mampu untuk merasakan kebahagiaan dan kegembiraan. Ada beberapa hal dalam kehidupan yang membuat kita sedih; misalnya, hal-hal yang berkaitan dengan kematian. Kapan saja Anda memeriksa diri atau mawas diri, periksalah juga kemampuan Anda untuk merasa sedih.
Bila Roh Allah datang kepada kita, Dia tidak memberi kita penglihatan atau visi yang gemilang, tetapi Dia menyuruh kita melakukan hal-hal yang biasa dan wajar, yang dapat dipikirkan. Depresi cenderung menolakkan kita keluar dari hal-hal keseharian. Akan tetapi, bila Allah terlibat didalamnya, maka ilham-Nya adalah melakukan hal- hal yang paling wajar atau natural, sederhana - hal-hal yang tidak pernah kita bayangkan bahwa Allah terlibat di dalamnya, namun selagi kita melakukannya maka kita menyadari Dia ada di sana.
Ilham yang datang kepada kita dengan cara ini adalah prakarsa melawan depresi. Akan tetapi, kita harus mengayunkan langkah pertama dan melakukannya dalam ilham Allah. Meskipun demikian jika kita berbuat sesuatu semata-mata demi mengatasi depresi, kita hanya akan menambah depresi tersebut. Akan tetapi, bila Roh Allah menuntun kita secara naluri untuk berbuat sesuatu, pada saat kita melakukannya, depresi itu lenyap. Pada saat kita bangun dan patuh, kita memasuki dataran kehidupan yang lebih tinggi. (My Utmost for His Highest, 17 Februari 2010)

Catatan: Depresi (Inggris, depression) lebih dari sekedar kesedihan. Depresi, menurut kamus Oxford adalah perasaan tidak bahagia yang berakhir dalam waktu yang lama. Melihat judul dalam My Utmost for His Highest edisi 1935 “Mengambil Prakarsa dalam Keputusasaan” (Initiative Against Depression), Oswald Chambers melihat depresi sebagai sesuatu yang membawa suasana keputus-asaan.

Selasa, 16 Februari 2010

Ilham Dari Prakarsa Rohani

TIDAK mudah mengenal suatu prakarsa, dari ilham Allah atau bukan. Tapi renungan hari ini menegaskan, ketika Allah mengirimkan ilham-Nya, ia itu dengan kuasa sedemikian ajaib sehingga kita sanggup “bangkit dan antara orang mati’ dan melakukan hal yg mutahil. Allah tidak memberikan kepada kita kehidupan yg berkemenangan, tapi Dia memberikan kepada kita kehidupan pada saat kita mengatasinya. Lebih lanjut dalam dibawah ini:

Ilham Dari Prakarsa Rohani

Bangkitlah dari antara orang mati..” (Efesus 5:14).

Tidak semua inisiatif atau prakarsa/ikhtiar*), kesediaan mengayunkan langkah pertama, diilhami oleh Allah. Seseorang mungkin berkata kepada Anda, “Bangunlah dan berangkatlah! Buanglah jauh-jauh keenggananmu - lakukan apa yang harus dilakukan!” Itu adalah prakarsa manusia biasa. Akan tetapi, bila Roh Allah datang kepada kita dan berkata, “Bangunlah dan berangkatlah,” tiba-tiba kita menyadari, bahwa prakarsa itu diilhami – di-inspirasi - oleh Allah.

Kita semua mempunyai banyak impian dan cita-cita ketika masih muda, tetapi segera atau lambat kita sadar bahwa kita tidak mempunyai kuasa untuk melaksanakannya. Kita tak dapat melakukan hal-hal yang kita rindukan, sehingga kita cenderung berpendapat bahwa impian dan cita-cita kita sudah mati. Akan tetapi, Allah datang dan berkata kepada kita, “Bangkitlah dan antara orang mati...” Ketika Allah mengirimkan ilham-Nya, ilham itu mendatangi kita dengan kuasa yang sedemikian ajaib sehingga kita sanggup “bangkit dan antara orang mati’ dan melakukan hal yang mutahil.

Yang luar biasa mengenai prakarsa rohani adalah bahwa kehidupan dan kuasa datang setelah kita “bangun dan berangkat”. Allah tidak memberikan kepada kita kehidupan yang berkemenangan - Dia memberikan kepada kita kehidupan pada saat kita mengatasinya. God does not give us overcoming life— He gives us life as we overcome.

Bila ilham Allah datang dan Dia berkata, “Bangkitlah dan antara orang mati”, kita harus bangun sendiri. Allah tidak akan mengangkat kita. Tuhan kita berkata kepada orang yang mati sebelah tangannya, “Ulurkanlah tanganmu!” (Matius 12:13). Pada saat orang itu berbuat demikian, tangannya pun sembuh. Akan tetapi dia harus mengambil prakarsa.

Jika kita mengambil prakarsa untuk menang, maka kita akan mendapati bahwa kita mempunyai ilham Allah, karena Dia dengan seketika memberi kita kuasa atas kehidupan. (My Utmost for His Highest, 16 Februari 2010)

*) Catatan: Apakah prakarsa/inisiatif/ikhtiar. Menurut kamus Cambridge, prakarsa bisa berarti rencana atau tindakan untuk memecahkan masalah atau memperbaiki situasi. Arti kedua adalah kemampuan melakukan mengambil keputusan dan melakukan sesuatu tanpa perlu diberitahu apa yang dilakukan. Dengan pengertian ini apa yang disebut dalam judul ”prakarsa rohani” merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan pribadi seorang Kristen ataupun persekutuan/gereja.

Senin, 15 Februari 2010

Apakah Aku Penjaga Adikku?”


Renungan hai ini dibuka dengan pertanyaan yang menghenyakkan: ”Pernahkah terlintas dalam diri Anda bahwa Anda bertanggung jawab secara rohani terhadap Allah bagi orang lain?” Dan, jika kita membiarkan keakuan atau egoisme, ...... atau kelemahan rohani dalam hidup kita, maka setiap orang yang berhubungan dengan kita akan menderita. Selanjutnya seperti dibawah ini.

 Apakah Aku Penjaga Adikku?”
Sebab tidak ada seorang pun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri...” (Roma 14:7).
Pernahkah terlintas dalam diri Anda bahwa Anda bertanggung jawab secara rohani terhadap Allah bagi orang lain? Misalnya, jika saya membiarkan setiap penolakan terhadap Allah masuk dalam hidup saya pribadi, maka orang-orang di sekitar saya akan menderita. Karena seperti kata Firman Tuhan, ”di dalam Kristus Yesus Ia telah membangkitkan kita juga dan memberikan tempat bersama-sama dengan Dia di sorga” (Efesus 2:6), dan “Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita...” (1 Korintus 12:26).
Jika Anda membiarkan keakuan atau egoisme, kesembronoan dan kecerobohan mental, ketidak-pekaan moral, atau kelemahan rohani terjadi dalam hidup Anda, maka setiap orang yang berhubungan dengan Anda akan menderita.
Akan tetapi, Anda bertanya, “Siapakah yang sanggup untuk hidup memenuhi tolok ukur yang sebegitu tinggi?”. Kesaksian Paulus: “Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup ……, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah (2 Korintus 3:5).
“Kamu akan menjadi saksi-Ku...” (KisahParaRasul 1:8). Berapa banyakkah di antara kita yang bersedia memberikan setiap kekuatan mental, moral dan rohani kita untuk Yesus Kristus? Itulah yang dimaksud Allah ketika Dia menggunakan kata ‘saksi”. Akan tetapi, hal itu membutuhkan waktu, jadi bersabarlah dengan diri Anda. Mengapa Allah telah meninggalkan kita di bumi ini? Apakah semata-mata untuk diselamatkan dan dikuduskan? Tidak, namun untuk berkarya dalam pelayanan bagi-Nya.
Bersediakah saya menjadi roti yang dipecahkan dan anggur yang dicurahkan bagi-Nya? Bersediakah saya menjadi tidak berharga bagi zaman atau bagi kehidupan ini, kecuali untuk satu maksud saja - dipakai untuk menyiapkan pria dan wanita menjadi murid Tuhan Yesus Kristus?
Hidup pelayanan saya bagi Allah adalah cara saya mengucapkan terima kasih kepada-Nya atas keselamatan yang ajaib dan tak terungkapkan dengan kata-kata. Ingatlah, adalah sesuatu yang mungkin bagi Allah menyisihkan kita jika kita menolak melayani Dia. “... supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:27). (My Utmost for His Highest, 15 Februari 2010)

Minggu, 14 Februari 2010

Disiplin Untuk Mendengar (Dengan Penuh Perhatian)

GELAP?? Siapa yang tidak pernah merasa gelap! Renungan hari ini mengatakan, adakalanya Allah membawa kita melalui pengalaman dan disiplin kegelapan, untuk mengajar kita mendengar dan mematuhi Dia. Burung yang senang berkicau diajar berkicau dalam gelap, dan Allah memasukkan kita ke dalam “naungan tangan-Nya” sampai kita belajar mendengar Dia. Renungan lebih lanjut dibawah ini:

Disiplin Untuk Mendengar (Dengan Penuh Perhatian)

“Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah (Matius 10:27).

Adakalanya Allah membawa kita melalui pengalaman dan disiplin (dalam) kegelapan untuk mengajar kita mendengar dan mematuhi Dia. Burung yang senang berkicau diajar berkicau dalam gelap, dan Allah memasukkan kita ke dalam “naungan tangan-Nya” sampai kita belajar mendengar Dia (Yesaya 49:2).
“Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap...” - perhatikanlah bila Allah memasukkan Anda ke dalam gelap. Dan tutuplah mulut Anda selagi Anda di sana.

Apakah situasi Anda atau kehidupan Anda bersama Allah sekarang berada dalam kegelapan? Jika demikian, teteaplah tenang. Jika Anda membuka mulut Anda dalam gelap, Anda akan berbicara dalam suasana hati yang keliru - kegelapan adalah waktu untuk mendengar. Jangan berbicara kepada orang lain tentang hal itu; jangan membaca buku-buku untuk mengetahui alasan dari kegelapan itu; tapi dengarkan saja dan patuhlah.

Jika Anda berbicara kepada orang lain, Anda takkan dapat mendengar perkataan yang sedang disampaikan Allah. Bila Anda berada dalam gelap, dengarkanlah, maka Allah akan memberikan kepada Anda pesan yang berharga untuk disampaikan pada orang lain pada saat Anda kembali ke dalam terang.

Setelah setiap kali menjalani kegelapan, kita seharusnya mengalami pengalaman rasa senang-lega bercampur rasa malu dan bodoh. Jika yang ada hanya kesenangan/kelegaan, saya meragukan apakah kita benar-benar telah mendengar Allah.

Kita seharusnya merasa sukacita karena telah mendengar Allah berbicara, tetapi terutama rasa malu dan bodoh karena telah begitu lama waktu dibutuhkan baru mendengar Dia! Kemudian kita akan berseru mengaku, “Betapa lambatnya aku mendengar dan memahami pesan yang dikatakan Tuhan kepadaku!” Padahal Allah telah mengucapkannya selama berhari-hari dan bahkan mungkin berminggu-minggu.

Akan tetapi, pada saat Anda mendengar Dia, Dia memberikan Anda rasa malu dan bodoh yang melegakan hati- suatu pemberian yang akan selalu membuat Anda mendengarkan Allah sekarang. (My Utmost for His Highest, 14 Februari 2010)

Sabtu, 13 Februari 2010

Devosi Mendengar

Sudahkah Anda mendengar suara Allah hari ini? Atau hanya pada saat-saat tertentu saja? Apa rahasianya? Dan apa yang menjadi kendala atau rintangannya? Chambers menekankan aspek devosi dalam mendengar (devotion of hearing). Devosi adalah tindakan kasih dengan pengorbanan waktu dan tenaga. Lebih jauh kita ikuti dibawah ini:
Devosi Mendengar
Dan Samuel menjawab: ‘Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar” (1 Samuel 3:10).
Hanya karena telah mendengarkan dengan cermat dan sungguh-sungguh kepada satu hal dari Allah bukan berarti bahwa saya mendengarkan semua hal yang diucapkan-Nya. Saya memperlihatkan kepada Allah kurangnya kasih dan hormat saya kepada-Nya dengan ketidak-pekaan hati dan pikiran saya pada apa yang dikatakan oleh-Nya. Jika saya mengasihi sahabat saya maka secara naluri saya akan memahami apa yang diinginkannya. Yesus berkata, “Kamu adalah sahabat-Ku” (Yohanes 15:14).
Apakah saya tidak menuruti perintah Tuhan minggu ini? Jika saya menyadari bahwa itu perintah Yesus, saya takkan dengan sengaja tidak mengindahkannya. Akan tetapi, kebanyakan di antara kita sungguh menunjukkan rasa tidak hormat kepada Allah karena nyatanya kita sama sekali tidak mendengarkan Dia. Seolah-olah Dia tidak pernah berbicara kepada kita.
Sasaran dari kehidupan rohani saya adalah keserupaan (indentifikasi) sedemikian rupa dengan Yesus Kristus sehingga saya selalu mau mendengarkan Allah dan mengetahui bahwa Allah selalu mendengarkan saya (lihat Yohanes 11:41).
Jika saya dipersatukan dengan Yesus Kristus, saya mendengarkan Allah sepanjang waktu melalui devosi mendengar (tindakan kasih dan pengorbanan dengan waktu dan tenaga untuk mendengar Allah). Sekuntum bunga, sebuah pohon atau seorang hamba Allah mungkin menyampaikan pesan Allah kepada saya.
Yang merintangi pendengaran saya adalah perhatian saya yang tertuju pada hal-hal lain. Bukannya saya tidak ingin mendengar Allah, namun saya tidak ”devoted” dalam segi-segi yang tepat dari hidup saya. Saya memperhatikan hal-hal lain dan bahkan pada pelayanan dan keyakinan saya sendiri. Allah boleh jadi berbicara hal-hal yang dikehendaki-Nya, namun saya tidak mendengarkan Dia. Sikap seorang anak Allah seharusnya selalu, “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar”.
Jika saya tidak mengembangkan dan memupuk devosi mendengar ini, maka saya hanya dapat mendengar suara Allah pada waktu tertentu saja. Pada saat yang lain saya menjadi tuli terhadap suara-Nya karena perhatian saya tertuju kepada hal-hal lain, yaitu hal-hal yang menurut pendapat saya harus saya lakukan.
Ini bukanlah kehidupan seorang anak Allah. Sudahkah Anda mendengar suara Allah hari ini? (My Utmost for His Highest, 13 Februari 2010)

Jumat, 12 Februari 2010

Apakah Anda Mendengarkan Allah?

”Apakah Anda Mendengarkan Allah?”, judul renungan kita hari ini. Chambers mengatakan, apabila kita lebih suka mendengarkan suara hamba Tuhan, lebih suka mendengar kesaksian-kesaksian, dari pada mendengarkan Tuhan sendiri, hal itu sesungguhnya ”menunjukkan betapa kurangnya kasih kita kepada Allah”. Lebih jauh dibawah ini:

Apakah Anda Mendengarkan Allah?

Mereka berkata kepada Musa: ”Engkaulah berbicara dengan kami, maka kami akan mendengarkan: tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami, nanti kami mati” (Keluaran 20:19).

Kita tidak dengan sadar mengingkari Allah, hanya karena kita tidak memperhatikan Dia. Allah telah memberikan perintah-Nya kepada kita, tetapi kita tidak memberikan perhatian, bukan karena ketidak patuhan yang disengaja, namun karena kita tidak benar-benar mengasihi dan menghormati Dia. “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yohanes 14:15).

Ketika kita menyadari bahwa kita telah terus-menerus menunjukkan rasa tidak hormat kepada Allah, kita akan dipenuhi rasa malu dan terhina karena mengabaikan Dia.

“Engkaulah berbicara dengan kami, ... tetapi janganlah Allah berbicara dengan kami...”. Kita menunjukkan betapa kurangnya kasih kita kepada Allah dengan lebih suka mendengarkan suara para hamba-Nya ketimbang mendengarkan Dia sendiri. Kita suka mendengarkan kesaksian-kesaksian pribadi, tetapi kita enggan mendengar Allah sendiri berbicara kepada kita.

Mengapa kita begitu takut bila Allah berbicara kepada kita? Karena kita tahu apabila Allah berbicara, kita harus melakukan hal yang diperintahkan-Nya, atau kita harus mengatakan kepada-Nya bahwa kita tidak mau taat. Namun jika sekiranya hanya seorang hamba Allah yang berbicara kepada kita, kita merasa bahwa kepatuhan (kepada Tuhan) merupakan pilihan, bukan keharusan. Kita menanggapinya dengan berkata, “Wah, itu hanya gagasanmu sendiri, walaupun aku tidak menyangkal bahwa ucapanmu itu barangkali adalah kebenaran Allah.”

Adakah saya selalu merendahkan Allah dengan tidak mengindahkan-Nya, sementara Dia dengan kasih-Nya terus-menerus memperlakukan saya sebagai anak-Nya?

Ketika pada akhirnya saya mendengar Dia, hinaan yang saya timpakan atas diri-Nya berbalik kepada saya. Respon saya kemudian menjadi, “Tuhan, mengapa aku begitu tidak peka dan keras kepala?”

Hal inilah yang selalu terjadi ketika akhirnya kita mendengar Dia. Akan tetapi, kegembiraan sejati ketika akhirnya kita mendengarkan Dia, kegembiraan disertai rasa malu karena perlu waktu begitu lama untuk sadar. (My Utmost for His Highest, 12 Februari 2010)

Kamis, 11 Februari 2010

Apakah Pikiran Anda Tetap Tertuju Pada Allah?

Ungkapan pikiran kaya, pikiran jernih, pikiran kotor, dll, sering kita dengar, menyatakan keadaan pikiran. Tapi bagaimana dengan pikiran lapar (starved mind)? Menurut Chambers, kelaparan pikiran, merupakan salah satu sumber kelelahan dan kelemahan dalam hidup hamba Tuhan. Dan sebabnya adalah kelalaian. Renungan ini mengajak kita melihat jawab pertanyaan apakah pikiran Anda tetap tertuju pada Allah? – judul renungan ini.

Apakah Pikiran Anda Tetap Tertuju Pada Allah?

TUHAN, Engkau memberi damai dan sejahtera kepada orang yang teguh hatinya, sebab ia percaya kepada-Mu. (Yesaya 26: 3, BIS)

Apakah pikiran Anda tetap tertuju kepada Allah atau pikiran Anda kelaparan? Kelaparan pikiran, yang disebabkan oleh kelalaian merupakan salah satu sumber kelelahan dan kelemahan dalam hidup seorang hamba Tuhan. (Kelalaian artinya tidak memberikan perhatian sebagaimana seharusnya).

Jika Anda tidak pernah menggunakan pikiran Anda untuk menempatkan diri di hadapan Allah, lakukanlah itu sekarang. Tidak ada alasan untuk menanti Allah datang pada Anda. Anda harus memalingkan pikiran dan pandangan Anda menjauhi wajah berhala lalu memandang kepada-Nya dan diselamatkan (lihat Yesaya 45:22).

Pikiran Anda adalah pemberian terbesar yang dikaruniakan Allah kepada Anda dan wajib diabdikan seluruhnya bagiNya. Anda harus berusaha ”menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus (2 Korintus 10:5)(Alkitab KJV menterjemahkannya “taat kepada Kristus”). Ini akan menjadi salah satu aset/modal terbesar dari iman Anda ketika masa pencobaan tiba, karena pada saat itu iman Anda dan Roh Allah akan bekerja sama-sama.

Bila Anda mempunyai pemikiran dan gagasan yang layak untuk memuliakan Allah, belajarlah untuk membandingkan dan menghubungkannya dengan semua yang terjadi di alam - terbit dan terbenamnya matahari, bersinarnya bulan dan bintang-bintang, dan perubahan musim. Anda akan mulai melihat bahwa pemikiran Anda juga berasal dari Allah, dan pikiran Anda takkan tunduk lagi kepada cara berpikir yang impulsif (semata mengikuti dorongan hati), tetapi akan selalu dipakai untuk melayani Tuhan.

“Kami dan nenek moyang kami telah berbuat dosa... (dan)... tidak ingat (Mazmur 106:6-7). Ayat ini merupakan ajakan menggugah ingatan kita dan segera bangkit. Jangan katakan kepada diri Anda, “Tetapi Allah tidak berbicara kepadaku sekarang.” Dia seharusnya berbicara. Ingatlah milik Siapa Anda, dan Siapa yang Anda layani. Berusahalah untuk mengingat, maka kasih Anda kepada-Allah akan bertambah sepuluh kali lipat. Pikiran Anda tidak akan lapar lagi, akan tetapi akan hidup dan bersemangat, dan harapan Anda akan selalu menyala-nyala. (My Utmost for His Highest, 11 Februari 2010)

Catatan:
1) Sebutan “orang yang teguh hatinya”, dalam ayat Yesaya 26: 3 dalam Alkitab KJV diterjemahkan sebagai “orang yang pikirannya tetap tertuju pada-Mu” - “whose mind is stayed on thee”, yang menjadi dasar judul renungan: Apakah Pikiran Anda Tetap Tertuju Pada Allah?
2)  Ada perbedaan judul renungan pada edisi yang beredar saat ini (RBC) dan terbitan pertama (1935). Judul pada terbitan pertama (1935) lebih menekankan pada “harapan”: Apakah Harapan Anda pada Tuhan Redup dan Mati? ( Is Your Hope in God Faint and Dying?), dan menjadi penekanan pada penutup renungan.
3)  Starved mind atau pikiran (yang) lapar, ada juga yang menterjemahkannya menjadi pikiran kosong. Menurut saya, yang dimaksudkan penulisnya memang adalah keadaan pikiran yang lapar (starved mind), bukan pikiran yang kosong, yang pengertiannya pasti berbeda. Masalahnya memang, istilah/ungkapan pikiran lapar terdengar janggal, karena tidak lazim seperti pikiran kaya, pikiran jernih, pikiran kotor, dll. Bahasa sering tidak lepas dari biasa dipakai atau tidak biasa. Yang tidak biasa, walau benar, bisa ”salah”!

Rabu, 10 Februari 2010

Apakah Kemampuan Anda Untuk Melihat Allah Dibutakan?

PENGANTAR. Renungan hari ini menyatakan, bahwa berhala membutakan mata rohani kita untuk dapat melihat Allah. Menarik, Chambers menegaskan, bahwa berhala tersebut dapat berasal dari dalam diri kita, pekerjaan kita, gagasan kita, dan mungkin pengalaman kita. Dan kalau kita kehilangan kemampuan melihat Allah, maka doa kita terasa sia-sia atau hampa. Lebih jauh mari kita ikuti dalam Notes dibawah ini:

Apakah Kemampuan Anda Untuk Melihat Allah Dibutakan?

Arahkanlah matamu ke langit dan lihatlah: siapa yang menciptakan semua bintang itu,.. ?” (Yesaya 40:26)


Umat Allah semasa hidup Yesaya telah membutakan kemampuan pikiran mereka untuk melihat Allah dengan memandang kepada wajah berhala. Akan tetapi, Yesaya menyuruh mereka menengadah ke langit; maksudnya, agar mereka mulai menggunakan daya pikir dan penglihatan dengan tepat.

Jika kita adalah anak-anak Allah, kita memiliki harta yang tidak ternilai di Alam bebas dan kita akan menyadari bahwa hal itu suci dan sakral. Kita akan melihat Allah menjangkau kita dalam setiap embusan angin, setiap terbit dan terbenamnya matahari, setiap gumpalan awan di angkasa, setiap kuntum bunga yang mekar dan setiap helai daun yang layu dan gugur, kalau saja kita mulai menggunakan pikiran kita yang dibutakan untuk melihatnya atau memvisualisasinya.

Ujian sesungguhnya dari pemusatan rohani/spiritual adalah kemampuan membawa pikiran dan angan-angan Anda dalam kendali *).

Apakah pikiran Anda terpusat pada wajah berhala? Adakah berhala tersebut Anda sendiri? Ataukah pekerjaan Anda? Ataukah berhala itu adalah gagasan Anda tentang seorang pelayan yang seharusnya atau mungkin pengalaman Anda tentang keselamatan dan pengudusan?

Jika demikian, maka kemampuan Anda untuk melihat Allah telah dibutakan. Anda tidak akan berdaya bila menghadapi kesulitan dan akan dipaksa bertahan dalam kegelapan.

Jika daya lihat Anda dibutakan, jangan menoleh pada pengalaman Anda sendiri, tetapi pandanglah Allah. Allahlah yang Anda butuhkan. Lepaskan diri Anda dan jauhkan diri Anda dari urusan dengan berhala-berhala Anda, dan dari segala sesuatu yang telah membutakan pikiran Anda. Bangunlah dan terimalah apa yang disampaikan Yesaya pada bangsanya, dan palingkan pikiran dan mata Anda kepada Allah.

Salah satu alasan mengapa kita merasa doa kita sia-sia atau hampa ialah karena kehilangan kemampuan untuk melihat. Kita bahkan tidak lagi mempunyai kemampuan dengan penuh kesadaran menempatkan diri kita di hadapan Allah. Sesungguhnya lebih penting belajar “menjadi roti yang dipecah-pecahkan dan anggur yang dituangkan” dalam doa syafaat ketimbang mengadakan hubungan pribadi dengan orang lain.

Kemampuan untuk melihat diberikan Allah kepada orang percaya agar dia dapat berjalan melampaui kemampuan dirinya dan dengan kokoh ditempatkan dalam hubungan yang tidak pernah dialaminya sebelumnya. (My Utmost for His Highest, 10 Februari 2010)

Catatan: *) Ujian sesungguhnya dari pemusatan rohani/spiritual adalah kemampuan membawa pikiran dan angan-angan Anda dalam kendali, dalam teks aslinya (terbitan 1935) berbuyi, “the test of spiritual consentration is bringing your imagination into captivity” (ujian bagi pemusatan perhatian secara rohani adalah membawa imaginasi Anda dalam tawanan), yang tampaknya diambil dari 2 Korintus 10: 5  “Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus”, yang oleh Chambers digunakan sebagai acuan sekurangnya 8 kali dalam buku renungan My Utmost ini.

Selasa, 09 Februari 2010

Apakah Anda Lelah Rohani?


PENGANTAR. Semua orang pernah mengalami kelelahan rohani. Dan, menurut Oswald Chambers, ”kelelahan rohani tidak pemah diakibatkan oleh dosa, tetapi oleh pelayanan”. Soalnya, ”mengalami atau tidak mengalami kelelahan itu tergantung pada dari mana mendapatkan bekal/suplai kekuatan”. Menarik! Mari, selanjutnya kita ikuti dibawah ini:

Apakah Anda Lelah Rohani?
“Allah kekal... tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu” (Yesaya 40:28).
Kelelahan berarti tenaga utama kita terkuras habis. Kelelahan rohani tidak pemah diakibatkan oleh dosa, tetapi oleh pelayanan. Apakah Anda mengalami atau tidak mengalami kelelahan itu tergantung pada dari mana Anda mendapatkan bekal/suplai kekuatan. Yesus berkata kepada Petrus, ”Berilah makan domba-domba-Ku,” tetapi Dia tidak memberi apa pun kepada Petrus untuk memberi makan domba-domba itu (Yohanes 21:17)
Dalam proses dijadikan menjadi roti yang dipecah-pecah dan anggur yang dituangkan berarti Anda harus menjadi makanan bagi jiwa-jiwa lain sebelum mereka belajar untuk makan dari Allah. Mereka harus menguras Anda habis sampai tetes yang terakhir.
Akan tetapi, usahakanlah untuk mengisi kembali persediaan Anda, atau Anda akan dengan cepat benar-benar mengalami kelelahan/kehabisan tenaga. Sebelum orang lain belajar untuk menyerap kehidupan Tuhan Yesus secara langsung, mereka harus menyerap kehidupan-Nya melalui Anda. Anda harus secara harfiah menjadi sumber persediaan mereka, sampai mereka belajar menyerap makanan mereka dari Allah. Kita berutang kepada Allah untuk berusaha sebaik-baiknya untuk melayani domba-domba Allah seperti kita melayani Allah sendiri.
Sudahkah Anda mengalami kelelahan karena cara Anda melayani Allah? Jika demikian, perbaruilah dan kobarkanlah hasrat dan kasih sayang (afeksi) Anda. Selidikilah alasan Anda untuk melayani. Apakah Anda bersumber pada pengertian Anda sendiri atau berlandaskan penebusan Yesus Kristus?
Lihatlah kembali landasan kasih dan afeksi Anda serta ingatlah dimana letak Sumber kuasa Anda. Anda tidak berhak untuk mengeluh, “Ya Tuhan, aku begitu lelah”. Dia menyelamatkan dan menguduskan Anda untuk membuat Anda lelah.
Berlelahlah untuk Allah, tetapi ingatlah bahwa Dialah persediaan Anda. “Segala mata airku ada di dalammu” (Mazmur 87:7). (My Utmost for His Highest, 9 Februari 2010)

*) Kata kelelahan disini dari “exhausted” yang juga berarti kehabisan tenaga

Senin, 08 Februari 2010

Harga Pengudusan


PENGANTAR. Tidak banyak orang senang berbicara tentang kekudusan, seperti halnya dengan dosa. Paling tidak, tidak seperti orang berbicara tentang berkat. Gairah. Tapi apakah sebenarnya pengudusan? Dan siapkah kita membayar harganya? Apa bukti kehadiran Roh Kudus dalam hidup seseorang? Chambers mengajak kita merenungkan topik ini dalam renungan hari ini.

Harga Pengudusan
Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya (1 Tesalonika 5:23).
Bila kita berdoa memohon kepada Allah untuk menguduskan kita, siapkah kita untuk menerima apa makna pengudusan itu sesungguhnya? Kita terlalu menganggap enteng kata pengudusan. Siapkah kita untuk membayar harga pengudusan? Harganya adalah pembatasan terhadap semua urusan duniawi kita, dan pengembangan atau kultivasi tuntas akan semua yang bersangkutan dengan ibadah kita.
Pengudusan berarti sungguh-sungguh terfokus pada sudut pandang Allah. Pengudusan berarti menjamin dan memelihara segenap kekuatan tubuh, jiwa dan roh kita untuk maksud Allah saja.
Siapkah kita mempersilakan Allah melaksanakan di dalam kita segala sesuatu yang untuk mana Dia telah memisahkan kita? Dan setelah Dia melakukan karya-Nya, apakah kita kemudian siap untuk memisahkan diri bagi Allah tepat seperti yang telah dilakukan oleh Yesus? ”Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka.. .“ (Yohanes 17:19).
Alasan mengapa sebagian dari kita tidak mengalami pengudusan karena kita tidak menyadari makna pengudusan dilihat dari sudut pandang Allah.
Pengudusan berarti disatukan dengan Yesus agar sifat (natur) yang menguasai Dia akan mengendalikan kita. Siapkah kita sungguh-sungguh menerima harganya yang harus dibayar untuk itu? Itu akan mengorbankan sepenuhnya segala sesuatu di dalam diri kita yang tidak berasal dari Allah.
Apakah kita siap masuk dalam makna sepenuh doa Paulus dalam ayat ini? Siapkah kita untuk berkata, “Tuhan, jadikanlah aku, seorang berdosa yang diselamatkan oleh anugerah, suci kudus menurut Tuhan dan kemampuan-Mu?”
Yesus berdoa agar kita menjadi satu dengan Dia seperti Dia menjadi satu dengan Bapa (lihat Yohanes 17:21-23). Bukti yang jelas dari kehadiran Roh Kudus dalam hidup seseorang adalah keserupaan yang jelas dengan Yesus Kristus, dan kebebasan/kelepasan dari segala sesuatu yang tidak menyerupai Dia.
Siapkah kita untuk memisahkan diri bagi karya Roh Kudus di dalam kita? (My Utmost for His Highest, 8 Februari 2010)

Minggu, 07 Februari 2010

Kesedihan Rohani

PENGANTAR. Pernah mengalami kesedihan atau kemurungan rohani? Menurut Chambers, ketika kita mencari penglihatan dari surga dan kuasa Allah yang menguntur, menunjukkan kita sedang dalam kesedihan rohani. Padahal, dikatakan, salah satu penyataan Allah yang paling ajaib adalah ketika kita tahu dan menyadari keindahan keilahian Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari kita. Lebih lanjut dibawah ini:



Kesedihan Rohani

“Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang akan membebaskan bangsa Israel. Sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi” (Lukas 24:21)


Setiap fakta yang dinyatakan para murid itu benar, tetapi kesimpulan yang mereka tarik dari fakta-fakta itu keliru. Segala sesuatu yang bernada kesedihan rohani *) selalu keliru. Jika saya merasa tertekan atau berbeban, sayalah yang patut disalahkan, bukan Allah atau siapa pun yang lain.

Kesedihan timbul dari dua sumber, yaitu saya telah memuaskan nafsu atau saya belum dipuaskan oleh nafsu itu. Kedua hal itu mengakibatkan kesedihan. Nafsu berarti “Aku harus mendapatkannya segera”. Nafsu rohani menyebabkan saya menuntut jawaban dari Allah, bukannya mencari Allah sendiri yang akan memberikan jawaban.

Apakah yang telah saya harap atau percaya bahwa Allah akan melakukannya? Apakah hari ini “telah lewat tiga hari” dan Dia masih belum melakukan seperti yang telah saya harapkan? Apakah dengan demikian saya dibenarkan untuk merasa sedih, kecewa dan menyalahkan Allah?

Apabila kita mengatakan bahwa Allah harus memberikan kepada kita jawaban atas doa, maka kita telah menyimpang. Maksud/tujuan doa adalah agar kita mendekat kepada Allah, bukan jawaban doa.

Seseorang tidaklah mungkin sehat jasmani tapi dengan rasa sedih dan kecewa, karena kesedihan adalah tanda dari penyakit. Hal ini juga berlaku secara rohani. Kesedihan rohani itu keliru, dan kitalah yang harus dipersalahkan untuk itu.

Ketika kita mencari penglihatan dari surga, dan kuasa Allah yang menguntur dan menggempa, menunjukkan/membuktikan kita sedang merasa sedih dan kecewa.

Kita tidak pernah menyadari bahwa sepanjang waktu Allah bekerja dalam peristiwa sehari-hari yang menyangkut diri kita dan orang di sekeliling kita.

Kalau saja kita mau patuh, dan melakukan tugas yang telah diberikan Allah kepada kita, maka kita akan melihat Dia. Dan salah satu penyataan Allah yang paling ajaib yang mendatangi kita adalah ketika kita tahu dan menyadari keindahan keilahian Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari kita. (My Utmost for His Highest, 7 Februari 2010)

*) Kata kesedihan ini dalam bahasa Inggris disebut dejected: perasaan sedih, frustasi atau tidak bersemangat dalam waktu pendek. Berbeda dengan depres yang bersifat lebih tetap dan besumber eksternal (The New American Dictionary of Confusing Words, p.90).

Sabtu, 06 Februari 2010

Siapkan Anda Dicurahkan Sebagai Persembahan? (2)


Pengantar: Renungan hari ini merupakan lanjutan (bagian-2) dari renungan kemarin, dimana ketika kita mengatakan kepada Allah siap dicurahkan sebagai persembahan (siap melalui pembakaran, penyucian dan pemisahan), maka Allah akan membuktikan diri-Nya menjadi segala sesuatu yang pernah kita mimpikan tentang Dia. Lebih lanjut seperti dibawah ini:



“........ darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan .... (2 Timotius 4:6)
Siapkah Anda untuk dicurahkan sebagai persembahan? Ini adalah tindakan kehendak Anda, bukan perasaan Anda. Katakanlah kepada Allah bahwa Anda siap dipersembahkan sebagai korban bagi-Nya. Lalu terimalah konsekuensinya, tanpa keluhan sama sekali, kendati apa pun yang diatur Allah bagi Anda.
Allah mengutus Anda melalui krisis kehidupan pribadi, yang tidak seorang pun dapat membantu Anda. Dari luar hidup Anda mungkin tampak biasa saja, tetapi perbedaannya terletak pada kehendak Anda. Sekali Anda mengalami krisis dalam kehendak Anda, Anda takkan menghiraukan harga/akibatnya bila hal itu mulai mempengaruhi Anda secara lahiriah. Jika Anda tidak membereskan kehendak Anda lebih dahulu dengan Allah, akibatnya kelak hanyalah membangkitkan rasa iba-diri pada Anda.
”Ikatkanlah korban hari raya itu dengan tali, pada tanduk-tanduk mezbah’ (Mazmur 118:27). Anda harus bersedia diletakkan di atas mezbah dan merasakan panasnya api; bersedia mengalami semua yang dilambangkan oleh mezbah - pembakaran, penyucian dan pemisahan hanya untuk satu maksud - melenyapkan setiap keinginan dan afeksi yang tidak berlandaskan atau tidak terarah kepada Allah.
Namun Anda tidak melenyapkannya, Allah yang melakukannya. Lakukanlah ”mengikat korban ... pada tanduk-tanduk mezbah” dan perhatikan bahwa Anda tidak bergelimang dalam rasa iba-diri jika api itu menyala. Setelah Anda mengalami proses tersebut, takkan ada apa pun yang sanggup menyusahkan atau membuat Anda tertekan. Bila krisis lain datang, Anda akan menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak dapat menyentuh Anda lagi seperti keadaan sebelumnya. Api apakah yang ada dihadapan kehidupan Anda?
Katakanlah kepada Allah bahwa Anda siap dicurahkan sebagai persembahan, dan Allah akan membuktikan diri-Nya menjadi segala sesuatu yang pernah Anda mimpikan tentang Dia. (My Utmost for His Highest, 6 Februari 2010)

Jumat, 05 Februari 2010

Siapkan Anda Dicurahkan Sebagai Persembahan? (1)

Pengantar. Melayani dengan sungguh dan benar tidaklah mudah. Karena keinginan untuk dilayani, disanjung, dikenang, selalu menghadang. Osward Chambers menyebutnya menjadi “kurang dari setetes air dalam ember” – menjadi tidak berarti. Itu sebabnya dikatakan: Tidak sedikit pekerja diladang Tuhan tidak dapat melakukan pekerjaan kasar seraya mempertahankan sikapnya sebagai pelayan bagi Tuhan, karena mereka merasa pelayanan semacam itu merendahkan martabat mereka. Uraian renungan lebih lanjut dibawah ini:


Tetapi sekalipun darahku dicurahkan pada korban dan ibadah imanmu, aku bersukacita dan aku bersukacita dengan kamu sekalian” (Filipi 2:17).

Bersediakah Anda mengorbankan diri untuk karya dari orang-percaya lain - mencurahkan hidup Anda sebagai korban untuk pelayanan dan iman orang lain?

Atau Anda berkata, “Aku tidak bersedia dicurahkan sekarang ini, dan aku tidak mau Allah memberitahukan kepadaku bagaimana memilih pekerjaanku; aku ingin memilih sendiri tempat pengorbananku; aku ingin orang-orang tertentu menyaksikan aku dan mengatakan kepadaku: ”wah, pekerjaan bagus sekali!”

Adalah suatu hal yang berbeda, melayani Allah dengan cara sendiri dan disanjung sebagai pahlawan, dengan pelayanan yang telah diatur Allah bagi Anda dimana Anda harus menjadi “keset” bagi orang-orang lain. Maksud Allah mungkin untuk mengajar Anda untuk berkata, “Aku tahu bagaimana direndahkan”.

Apakah Anda siap dikorbankan seperti itu? Bersediakah Anda untuk menjadi “kurang dari setetes air dalam ember – menjadi sama sekali tidak berarti sehingga tidak seorang pun mengenang Anda dalam hubungan dengan kehidupan orang-orang yang Anda layani?

Bersediakah Anda untuk memberi diri dan waktu, dan kemudian dilupakan - dengan tidak berusaha dilayani melainkan untuk melayani?

Sebagian orang kudus tidak dapat melakukan pekerjaan kasar seraya mempertahankan sikapnya sebagai orang kudus, karena mereka merasa pelayanan semacam itu merendahkan martabat mereka. (My Utmost for His Highest, 5 Februari 2010)

Kamis, 04 Februari 2010

Keagungan Kuasa-Nya Yang Menggerakkan

PENGANTAR. Apakah yang sering ingin dilihat orang lain dalam hidup kita? Renungan hai ini mengatakan, bahwa penyerahan sepenuhnya kepada kuasa keagungan kasih Kristus akan menghasilkan buah yang akan selalu memperlihatkan tanda kesucian Allah dan kuasa-Nya, tanpa pernah menarik perhatian orang terhadap kesucian pribadi kita! Lebih lanjut kita ikuti dibawah ini:


Keagungan Kuasa-Nya Yang Menggerakkan

Kasih Kristus menguasai kami” (2 Korintus 5:14).

Paulus mengatakan bahwa dia dikuasai, ditaklukkan dan digenggam oleh “kasih Kristus”. Hanya sedikit di antara kita yang benar-benar mengetahui maknanya digenggam oleh kasih Allah. Kita cenderung dikendalikan semata oleh pengalaman kita sendiri. Satu hal yang mencekam dan menggenggam Paulus, dan olehnya mengesampingkan semua yang lain, yaitu kasih Allah. “Kasih Kristus menguasai kami”, jelas Paulus.
Bila kita mendengar pernyataan itu keluar diri kehidupan seorang pria atau wanita maka itu tidak dapat diragukan. Anda akan tahu bahwa Roh Allah sepenuhnya tidak terbendung dalam hidup orang-orang itu.

Bila kita dilahirkan kembali oleh Roh Allah, kesaksian kita semata-mata dilandasi apa yang Allah telah lakukan bagi kita, dan memang benarlah demikian.

Akan tetapi, itu akan berubah dan ditiadakan selamanya apabila Anda “menerima kuasa kalau Roh Kudus turun ke atas kamu. . .‘ (Kisah Para Rasul 1 ;8). Baru saat itu Anda akan mulai menyadari makna ucapan Yesus ketika melanjutkan berkata, “...kamu akan menjadi saksi-Ku...” Bukan bersaksi tentang apa yang Yesus dapat lakukan - itu memang mendasar dan dapat dipahami - melainkan menjadi ”saksi-Ku”.

Kita akan menerima semua yang terjadi seperti seolah-olah itu terjadi atas diri-Nya, baik pujian atau celaan, aniaya atau pahala. Tidak seorang pun sanggup bersikap seperti ini untuk Yesus Kristus jika tidak sepenuhnya didorong oleh keagungan kuasa-Nya. Itulah satu-satunya hal yang penting, namun anehnya justru merupakan hal terakhir yang kita sadari sebagai pekerja Kristen.

Paulus mengatakan bahwa dia digenggam oleh kasih Allah dan itulah sebabnya dia bertindak seperti yang telah dilakukannya. Orang dapat menebutnya gila atau waras - dia tidak peduli. Hanya satu tujuan hidupnya, yaitu meyakinkan orang tentang hukuman Allah yang akan datang dan memberitahukan mereka tentang “kasih Kristus”.

Penyerahan sepenuhnya kepada “kasih Kristus” adalah satu-satunya hal yang akan menghasilkan buah dalam hidup Anda. Dan itu akan selalu memperlihatkan tanda kesucian Allah dan kuasa-Nya, tanpa pernah menarik perhatian orang terhadap kesucian pribadi Anda. (My Utmost for His Highest 4 Februari 2010).

Rabu, 03 Februari 2010

Menjadi “Sampah Dunia”


PENGANTAR. Tidak mudah menerima “menjadi sampah dunia”. Pertama, karena tidak mudah memahami kebenarannya. Kedua, karena kita terlalu perhatian tentang diri kita dan tidak mau risiko ditolak, dll. Kita tidak dipaksa. Kita dapat menolak untuk “dikhususkan (Allah) untuk memberitakan Injil”. Tapi, seorang hamba Yesus Kristus sejati adalah orang yang bersedia menjadi martir untuk kenyataan Injil Allah. Dan tujuan Allah memanggil kita bukan untuk dijadikan manusia hebat oleh Allah, melainkan untuk “menyatakan Anak-Nya di dalam aku...”. Selanjutnya kita ikuti dibawah ini:

Menjadi “Sampah Dunia”
Kami telah menjadi sama dengan sampah dunia” (1 Korintus 4:13).
Pernyataan Paulus tersebut tidak berlebihan. Satu-satunya alasan bahwa pernyataan itu boleh jadi tidak benar mengenai kita sebagai pelayan Injil bukanlah bahwa Paulus lupa atau salah paham tentang kebenarannya, melainkan bahwa kita terlalu perhatian tentang diri kita dan tidak mau risiko membiarkan diri kita menjadi “sampah dunia”.
Apa yang dikatakan Paulus “menggenapkan dalam tubuhku apa yang kurang pada penderitaan Kristus ....” (Kolose 1:24) bukan bukti dari penyucian, melainkan bukti dari menjadi ‘dikhususkan untuk memberitakan Injil Allah...’ (Roma 1:1).
“Saudara-saudara yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang datang kepadamu sebagai ujian...” (1 Petrus 4:12). Jika kita merasa heran akan hal-hal yang kita hadapi, itu disebabkan kita penakut dan pengecut. Kita terlalu mempedulikan kepentingan dan hasrat kita sendiri sehingga kita menghindar dari kesulitan dan berkata, ”Aku tidak akan takluk; aku tidak akan menyerah, aku tidak akan tunduk”. Dan Anda tidak perlu melakukannya, Anda dapat menyelamatkan diri jika Anda mau. Anda dapat menolak untuk membiarkan Allah memperhitungkan Anda sebagai orang yang “dikhususkan untuk memberitakan Injil..”
Atau (sebaliknya) Anda dapat berkata, “Aku tidak peduli diperlakukan seperti ”sampah dunia” asalkan Injil diberitakan. Seorang hamba Yesus Kristus yang sejati adalah orang yang bersedia menjadi martir untuk kenyataan Injil Allah.
Bila seseorang bermoral dihadapkan pada penghinaan, immoralitas, ketidaksetiaan, atau ketidakjujuran, dia sedemikian terusik dengan pelanggaran itu sehingga dia menutup diri dan menutup hatinya terhadap si pelanggar/pelaku.
Akan tetapi, keajaiban dari realitas penebusan Allah adalah bahwa pelanggar atau orang bersalah yang terburuk dan terhina sekalipun tidak pernah kehabisan Kasih-Nya yang begitu dalam. Paulus tidak mengatakan bahwa Allah mengkhususkan dia untuk menunjukkan bagaimana Allah akan menjadikannya manusia hebat, melainkan untuk “menyatakan Anak-Nya di dalam aku...” (Galatia 1:16). (My Utmost for His Highest 3 Februari 2010).