Selasa, 04 Mei 2010

4 Mei ‘10 - Doa Syafaat Bagi Orang Lain

MASIH lanjutan renungan kemarin, dengan penekanan pada rintangan utama doa syafaat, yaitu kekebalan rohani. Doa yang kita naikkan untuk orang lain adalah berdasarkan pemikiran atau pendapat kita – dan itu kita paksakan pada Tuhan. Bukan berdasarkan pikiran dan perhatian Allah tentang yang bersangkutan, pikiran yang hanya dapat kita ”lihat” dalam kesatuan hubungan dengan Dia. Selanjutnya dibawah ini:



DOA SYAFAAT BAGI ORANG LAIN
kita sekarang dengan penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, oleh darah Yesus ” (Ibrani 10:19)
Waspadalah terhadap pemikiran bahwa doa syafaat berarti membawa simpati dan kepedulian pribadi kita ke dalam hadirat Allah, dan kemudian menuntut Dia agar melakukan seperti apa yang kita minta.
Kita diperkenan mendekati Allah bergantung sepenuhnya pada pengorbanan Tuhan sebagai pengganti dalam penebusan dosa. Kita sekarang dengan penuh keberanian dapat masuk ke dalam tempat kudus, oleh darah Yesus.
Kebebalan rohani adalah rintangan yang paling berpengaruh terhadap doa syafaat, karena kita mendasarkan kebutuhan penebusan Kristus atas penilaian kita berdasarkan “rasa” simpati akan hal-hal yang kita lihat pada diri kita dan pada orang lain. Kita mempunyai “keyakinan” bahwa ada beberapa hal-hal yang benar dan kebaikan di dalam diri kita yang tidak perlu didasarkan pada Penebusan salib Kristus.
Pemikiran semacam itu menghasilkan kelambanan rohani dan kurang perhatian yang membuat kita merasa tidak membutuhkan menaikkan doa syafaat. Hal ini juga menyebabkan kita tidak mempersatukan diri (identify ourself) dengan perhatian dan keperdulian Allah bagi orang lain, dan kita menggerutu terhadap Tuhan. Juga kita selalu mengedepankan pendapat kita sendiri, dan (kalaupun kita menaikkan) doa syafaat kita hanya menjadi pemuliaan atau pemujaan simpati lahiriah kita sendiri.
Kita harus menyadari bahwa penebusan Kristus atas dosa-dosa berarti suatu perubahan radikal pada semua rasa simpati dan perhatian kita. Berdoa syafaat bagi orang lain berarti dengan penuh kesadaran kita mengganti simpati lahiriah kita terhadap orang lain dengan perhatian Tuhan terhadap mereka.
Apakah saya berkeras pada pandangan saya atau saya mau diubahkan? Apakah saya membuang-buang waktu atau mau sempurna dalam hubungan saya dengan Allah? Apakah saya menggerutu pada Tuhan atau tunduk dan hormat roh dan jiwa saya? Apakah saya selalu memaksakan cara atau jalan saya atau bertekad untuk diubahkan menuju kesatuan dan keserupaan dengan Dia? (My Utmost for His Highest, 4 Mei 2010)

Tidak ada komentar: