Kamis, 21 Oktober 2010

21 Okt ‘ 10 - Sifat Impulsif Atau Kemuridan?

IMPULSIF, menurut Kamus Besar Indonesia, biasa bertindak tiba-tiba mengikuti gerakan hati. Renungan hari ini mengatakan, kebanyakan kita mengembangkan kekristenan kita berdasarkan sifat impulsif ini, bukan berdasarkan sifat Allah. Sifat impulsif ini merintangi perkembangan hidup seorang murid.

SIFAT IMPULSIF ATAU KEMURIDAN?

“Akan tetapi kamu, Saudara-sudaraku yang terkasih, bangunlah dirimu sendiri di atas dasar imanmu yang paling suci...” (Yudas 20).

SIFAT impulsif atau tindakan tanpa pikir-panjang bukanlah sifat Tuhan kita Yesus, tetapi Dia selalu bertindak dengan kekuatan yang tenang dan tidak pernah panik.

Kebanyakan dari kita mengembangkan kekristenan kita berdasarkan sifat kita sendiri, bukan berdasarkan sifat Allah. Sifat impulsif merupakan ciri khas kehidupan duniawi/daging, dan Tuhan kita tidak berkenan dengannya, karena sifat impulsif itu merintangi perkembangan hidup seorang murid.

Perhatikanlah cara Roh Allah memberikan pengekangan terhadap sifat impulsif. Roh itu kemudian membawa kepada kita suatu kesadaran diri akan kebodohan diri, yang membuat kita selalu ingin membela atau membenarkan diri.

Sifat impulsif ini tidak apa-apa di dalam diri seorang anak, tetapi berbahaya di dalam diri seorang pria atau wanita dewasa. Seorang dewasa yang impulsif selalu merupakan seorang pribadi yang manja. Sifat impulsif perlu dilatih menjadi intuisi melalui disiplin.

Kemuridan dibangun sepenuhnya atas dasar anugerah Allah yang adikodrati. Berjalan di atas air itu mudah bagi seseorang dengan keberanian impulsif, tetapi berjalan di atas tanah kering sebagai seorang murid Yesus Kristus adalah hal yang berbeda sama sekali. Petrus berjalan di atas air untuk pergi kepada Yesus, tetapi dia “mengikuti Dia dari jauh” di tanah kering (Markus 14:54).

Kita tidak memerlukan anugerah Allah untuk bertahan terhadap krisis. Sifat dan keangkuhan manusiawi cukup bagi kita untuk menghadapi tekanan dan ketegangan dengan gagah. Akan tetapi, dibutuhkan anugerah Allah yang adikodrati untuk hidup dua puluh empat jam setiap hari sebagai seorang percaya, dengan menekuni pekerjaan yang membosankan dan menghayati kehidupan biasa, tidak diperhatikan, dan diabaikan sebagai seorang murid Yesus.

Kesan bahwa kita harus melakukan hal-hal yang luar biasa (eksepsional) bagi Allah telah mendarah-daging di dalam kita, tetapi kita tidak perlu bertindak demikian. Kita harus menjadi luar biasa dalam hal-hal biasa dalam kehidupan, dan menjadi suci dalam lingkungan biasa, di antara orang-orang biasa - dan hal ini tidak dapat dipelajari dalam waktu yang singkat. (My Utmost for His Highest, 21 Oktober)

Tidak ada komentar: